ANALISIS KANDUNGAN MIKROPLASTIK PADA EKOSISTEM PESISIR DAN PRODUK GARAM DI PROVINSI SULAWESI BARAT DALAM MENDUKUNG BLUE ECONOMY KEAMANAN MARITIM
Main Article Content
Abstract
Mikroplastik merupakan kategori sampah plastik berukuran <5mm. Keberadaannya di perairan dan mengendap pada sedimen akibat pergerakan arus, angin juga pasang surut. Karena hampir setengah dari total pembuangan limbah daratan berakhir di lautan setiap harinya. Negara Indonesia adalah negara kedua penyumbang sampah plastik di dunia. Praktik ini dilaksanakan di empat kabupaten provinsi Sulawesi Barat. Empat konsep keamanan, yakni kekuatan laut atau kekuatan angkatan laut (sea power), keselamatan laut atau marine safety, ekonomi laut dalam atau blue economy, dan keamanan manusia atau human security. keamanan maritim Indonesia hendaknya dapat melindungi kepentingan nasional Indonesia di bidang kemaritiman. Blue economy sebagai model ekonomi yang mendorong pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable), mengembangkan industrialisasi kelautan dan perikanan yang menekankan pada pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan mendorong inovasi teknologi ramah lingkungan.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa persentase dari seluruh sampel air pada ekosistem ditemukan jenis Fragment 38%, Filament 38%, Fiber 5%, Film 17% dan Microbeads 2%. Pada sampel sedimen ditemukan jenis Fragment 54%, Fiber 27% dan Film 19%. Pada sampel produk garam ditemukan jenis Fragment 41%, Filament 32%, Fiber 22% dan Film 5%. Kabupaten Polewali Mandar memiliki kelimpahan mikroplastik tertinggi dengan persentase 35% (79.42 partikel/ml) sampel air, dan 35% (8.86 partikel/gr) sampel sedimen. Sampel produk garam sebanyak 26.78 partikel/ml di Kota Mamuju. Upaya pengelolaan sampah plastik menjadi barang yang memiliki nilai jual dan barang yang berguna, perlu diterapkan secara merata di setiap kabupaten. Selain itu dengan adanya penelitian ini mampu menerapkan konsep pengembangan blue economy karena memperhatikan aspek lingkungan dengan cara pemanfaatan kembali sampah plastik yang sulit teruari di kawasan pesisir.
Article Details
References
Bisjoe, A. R. H. (2015). Kawasan Wallacea dan Implikasinya Bagi Penelitian Integratif Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Info Teknis EBONI, 12(2), 141–148.
Browne, M. A., Crump, P., Niven, S. J., Teuten, E.,Tonkin, A., Galloway, T., & Thompson, R. (2011). Accumulation of Microplastic on Shorelines Woldwide : Sources and Sinks, 9175–9179
Cahyadi, A., & Hidayat, W. (2012). Analisis Karakteristik Hidrogeokimia Air Tanah di Pulau Koral Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Geografi, 9(2), 99–108.
Cauwenberghe, L. Van, Claessens, M., Vandegehuchte, M. B., Mees, J., & Janssen, C. R. (2013). Assessment of Marine Debris on the Belgian Continental Shelf. Marine Pollution Bulletin, 73(1), 161–169.
Edwards, F. L. (2015). Spesimen Wallace. Hartati,S. T. (2008). Pengkayaan Stok Teripang Pasir ( Holothuria scabra ) Di Perairan Kepulauan Seribu. BAWAL, 2(1), 9–15
Karami, A., Golieskardi, A., Keong Choo, C.,Larat, V., Galloway, T. S., & Salamatinia, B. (2017). The presence of microplastics in commercial salts from different countries. Scientific Reports, 7(April), 1–9. https://doi.org/10.1038/srep46173
Kusmana, C., & Hikmat, A. (2017). Keanekragaman Hayati Flora di Indonesia. Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan, 5(December 2015), 187–198.
Mansur, S., & Buana, U. M. (2018). Seminar Nasional Pariwisata dan Kewirausahaan Tahun 2014.
Rohman, A., Wisnu, R., & Rejeki, S. (2018). Penentuan Kesesuaian Wilayah Pesisir Muara Gembong, Kabupaten Bekasi Untuk Lokasi Pengembangan Budidaya Rumput Laut dengan Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis, 2, 73–82.